Cool Hot Pink Pointer Nadia Safira's Blog: Skandal Akuntansi Toshiba

Pages

Friday, 13 October 2017

Skandal Akuntansi Toshiba

Setelah terungkap bahwa perusahaan elektronik terbesar di dunia, Toshiba, melakukan praktik akuntansi illegal, perusahaan tersebut mengumumkan pendapatan sebelum pajak mengalami penurunan sebesar 224,8 miliar yen untuk periode April 2008 sampai dengan Desember 2014. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan dibenak kita, “ Bagaimana skandal semacam ini dapat terjadi disalah satu perusahaan terkemuka di Jepang?” mengingat bahwa Toshiba selama ini dipadang sebagai salah satu pelopor tata perusahaan formal.
Untuk menyelidiki skandal akuntansi ini, Toshiba membentuk komite pengacara pihak ketiga dan akuntan publik dipimpin oleh Ueda Koichi, mantan kepala Kantor Kejaksaan Tinggi Tokyo. Laporan penyelidikan pada tanggal 20 Juli memverifikasi bahwa skandal akuntansi ini dilakukan diberbagai unit bisnis secara institusional dengan keterlibatan manajemen tingkat korporat. Namun, laporan tersebut hanya mengatakan bahwa manajemen puncak terlibat dan tidak menyatakan bahwa apakah pimpinan eksekutif perusahaan tersebut melakukan skandal akuntansi atau tidak.
Pada konferensi pers tanggal 21 Juli, Presiden Toshiba Tanaka Hisao mengumumkan pengunduran dirinya, ia menolak bahwa ia telah memerintahkan para karyawannya untuk menggelembungkan laba perusahaan, menekan kerugian, dan memalsukan akun. Disini, ia juga mengaku bahwa Toshiba telah menderita, “ Apa yang dapat menjadi dampak terbesar terhadap citra brand kami selama sejarah 140 tahun.” Faktor ketidaklayakan dan rantai komando yang terlibat dalam pelaksanaannya tetap tidak jelas, namun faktor utama yang disebutkan dalam laporan panitia investigasi adalah “ budaya perusahaan dimana karyawan tidak dapat menentang perintah atasan.” Di Toshiba, para eksekutif berorientasi terhadap hasil laporan keuangan pada periode fiskal saat ini, maka dari itu mereka memberikan tekanan berat kepada bawahan untuk mencapai target hasil unit bisnis mereka. Para karyawan tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah dari atasannya.
Laporan panitia investigasi memberikan gambaran tentang bagaimana skandal  akuntansi ini dilakukan. Yang paling jelas adalah adanya seperangkat peraturan de facto  yang menempatkan kehendak manajemen perusahaan menjelang standar akuntansi regular. Misalnya, jika proyek tenaga listrik jangka panjang mengalami defisit karena kenaikan biaya dan faktor lainnya, berdasarkan standar normal, praktik ini ditetapkan dengan metode akuntansi basis akrual untuk mencatat biaya atas perkiraan defisit dalam pendapatan selama periode fiskal saat ini. Unit bisnis yang terkena dampak defisit akan mencatat sebagai perkiraan cadangan kerugian dimasa yang akan datang. Tapi salah satu peraturan de facto  di Toshiba memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari manajemen perusahaan dan juga dari kepala unit bisnis untuk penghapusan semacam itu. Karena perusahaan mengalami kerugian berarti laba bersih perusahaan juga mengalami penurunan untuk periode fiskal saat ini. Inilah tantangan bagi para ekskutif terhadap unit bisnis. Untuk menutupi jumlah kerugian yang dihapuskan, para ekskutif akan memberikan tekanan berat terhadap karyawan untuk menghasilkan keuntungan tambahan. Karyawanpun dengan terpaksa menuruti perintah dari para eksekutif untuk menunda kerugian periode akuntansi selanjutnya.
Dalam bisnis pribadinya, Toshiba meningkatkan pendapatan melalui transaksi dengan produsen yang memproduksi komputer merk Toshiba dibawah kontrak.  Toshiba menjual komponen utama komputer dan  kemudian membeli kembali produk jadi mereka. Agar tidak ketahuan harga sebenarnya kepada para pesaing, Toshiba menggunakan teknik “ masking price” atau disebut dengan pemalsuan harga ke produsen, dan membeli komputer jadi mereka dengan menambah biaya produksi dan biaya lainnya untuk meningkatkan jumlah produksi. Karena masking price  terlalu tinggi untuk komponen utama dibanding dengan harga untuk produk jadi, maka keuntungan penjualan untuk komponen utama ini tidak dapat dicatat sebagai laba perusahaan. Tapi, itulah yang dilakukan oleh Toshiba. Selama bertahun-tahun, perusahaan melakukan masking price sampai harganya 5 kali lipat dari biaya sebenarnya. Toshiba juga memaksa produsen untuk membeli lebih banyak lagi komponen utama dari yang mereka butuhkan. Tak heran apabila keuntungan Toshiba terlihat lebih besar untuk periode akuntansi saat ini.
Dalam sebuah wawancara yang muncul diharian bisnis Nikkie pada 6 April 2013, Presiden Toshiba Okamura Tadashi menyatakan tidak penting sistem apa yang mungkin akan diciptakan oleh perusahaan, itu tidak akan berhasil apabila perusahaan tidak menerapkan kode etik. Okamura juga mengamati bahwa wewenang pada perusahaan Jepang terlalu berpusat, dengan mengatakan otoritas yang berlebihan yang dimiliki oleh presiden perusahaan telah menghasilkan transparasi yang buruk dan penerapan struktural  yang meluas diantara perusahaan-perusahaan besar.
Toshiba merupakan salah satu pengadopsi sistem baru tata kelola perusahaan di Jepang. Struktur tata kelola perusahaan memenuhi standar tata kelola perusahaan. Berkali-kali kasus kegagalan tata kelola perusahaan telah memberikan bukti bahwa struktur tata kelola perusahaan yang baik tidak serta merta mengarah pada tata kelola perusahaan yang baik. Budaya organisasi merupakan penentu penting kualitas tata kelola perusahaan. Beberapa pengamatan dari komite investigasi independen perusahaan mengenai audit internal menuai perbincangan dan perdebatan.
Komite investigasi mengamati bahwa peraturan pembagian tugas diToshiba, divisi audit perusahaan bertanggung jawab untuk mengaudit divisi perusahaan, perusahaan, perusahaan cabang dan perusahaan afiliasi. Tapi, kenyataannya, divisi audit hanya memberikan layanan konsultasi untuk ‘manajemen’ yang dilakukan dimasing-masing perusahan dan jarang melakukan layanan dari sudut pandang audit akuntansi (apakah perlakuan akuntansi tepat atau tidak.).
Audit Internal dapat berjalan independen apabila komite auditnya kapabel, independen dan efektif, dan auditor internal melapor kepada komite audit.
DiToshiba, komite audit tidak kapabel dan tidak independen. Ada 3 anggota eksternal komite audit yang tidak memiliki pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Mantan Chief Financial Officer (CFO) merupakan CFO yang  satu-satunya anggota komite audit selama penyimpangan akuntansi terjadi. Oleh sebab itu, audit internal tidak independen dari manajemen. Manajemen laba mendapat persetujuan diam-diam dari manajemen puncak. Karenanya, ,tidak mengherankan bahwa akuntansi audit tidak diikutsertakan dalam ruang lingkup audit internal.
Literatur kontemprorer mendefinisikan audit internal sebagai ‘assurance and consulting service’. Problemanya adalah menyeimbangkan antara layanan konsultasi dengan layanan penjamin. Persoalan muncul ketika auditor internal lupa bahwa fungsi utama audit internal ialah sebagai penjamin dimana layanan konsultasi mengalir dari layanan penjaminan. Walaupun , tujuan utama audit operasi adalah untuk mendapatkan jaminan bahwa pengendalian internal yang diterapkan untuk mencapai tujuan operasi cukup memadai dan beroperasi secara efektif, auditee meninjau  internal auditor untuk saran dan konsultasi. Layanan konsultasi semacam itu merupakan layanan sampingan dari layanan penjaminan. Auditee tidak seharusnya  menolak manfaat dari auditor internal yang memiliki pemahaman terhadap industri dan bisnis, dan teguran sebelum auditee mencapai tujuan operasinya. Pengecualian layanan konsultasi dari ruang lingkup audit internal akan menghasilkan penggunaan sumber audit internal yang optimal.
Budaya organisasi juga menentukan efektivitas audit internal. Seperti laporan panitia investigasi yang telah disebutkan sebelumnya tentang adanya budaya di Toshiba dimana karyawan tidak dapat menentang perintah atasan. Apabila budaya perusahaan seperti ini, audit internal yang jujur tidak akan dapat bertahan, terutama jika terlepas dari manajemen. Mungkin ini adalah alasan mengapa audit internal di Toshiba memilih jalan yang mudah untuk berfokus hanya pada ‘layanan konsultasi’tanpa melaporkan kelemahan pengendalian internal.
Audit internal adalah “ mata dan telinga” dan “ go to man” dari komite audit. Oleh karena itu, kegagalan audit internal, menyebabkan kegagalan tata kelola perusahaan.

Analisis :
Dalam kasus ini terdapat permasalahan yang dilanggar oleh para eksekutif Toshiba diantaranya :
1.      Kepentingan Publik
Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Dalam hal ini, akuntan dalam Toshiba telah mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan mereka semata. Dengan kesalahan penyajian pada laporan keuangan Toshiba, menyebabkan pengambilan keputusan yang salah bagi investor.

2.      Integritas
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Namun, Toshiba terbukti tidak jujur dalam menyusun laporan keuangan mereka. Sehingga telah melanggar prinsip kode etik akuntansi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

3.      Obyektivitas
Obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak lain. Dalam hal ini, akuntan Toshiba tidak menunjukkan prinsip obyektivitasnya. Hal ini dibuktikan oleh dalam penyusunan laporan keuangan, akuntan masih didalam pengaruh para eksekutifnya untuk meninggikan laba didalam laporan keuangannya.

Solusi
Dalam kasus skandal  akuntansi yang dilakukan oleh Toshiba menunjukkan perilaku bisnis yang kurang baik. Dilihat dari etika pada kasus ini adanya tindakan kecurangan dalam pembuatan laporan keuangan dengan menaikan laba operasional perusahaan. Dalam menciptakan etika bisnis yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1)      Menyusun strategi untuk mencapai target penjualan
Pencapaian target dalam perusahaan memanglah sangat penting untuk meningkatkan laba bagi perusahaan. Apabila perusahaan belum mencapai target yang diinginkan , perusahaan dapat menyusun strategi untuk mencapai target penjualannya seperti mengutamakan kualitas dan inovasi produk, melakukan promosi secara efektif, dan memberikan pelayanan lebih baik lagi kepada pelanggan.

2)      Memperbaiki budaya perusahaan
Budaya diperusahaan Toshiba dimana karyawan tidak dapat menentang perintah atasan sangatlah tidak baik. Sebagai atasan, mereka harus mengembangkan budaya continuous improvement seperti mengkomunikasikan ekspetasi mereka, beri informasi dan pelatihan kepada karyawan, menilai pengetahuan dan keterampilan karyawan-karyawannya, memberikan dorongan kepada karyawannya, menunjukkan konsistensi, berikan kesempatan untuk eksperimen dan kesalahan kepada karyawan. Tidak hanya itu, mereka juga harus memiliki pengontrolan yang baik terhadap sejauh mana perkembangan target pencapaian mereka. Bentuk pengontrolan ini bisa seperti rapat mingguan, rapat dua mingguan, atau rapat bulanan.

3)      Membangun independensi auditor internal
Independensi internal audit Toshiba sangat buruk. Bahkan 3 komite audit tidak memiliki pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Dalam hal ini, audit internal pada perusahaan Toshiba harus membangun independensinya. Sesuai dengan interprestasi standar internal audit, untuk mencerminkan independensi, kedudukan Internal audit dalam organisasi harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapkan pandangan dan pemikirannya tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ataupun pihak lain yang terkait dengan organisasi. Pemimpin internal audit memiliki akses langsung dan tidak terbatasi dengan manajemen senior dan komisaris untuk melaporkan hasil auditnya.

Sumber :


1 comment: