Setelah terungkap bahwa perusahaan elektronik terbesar
di dunia, Toshiba, melakukan praktik akuntansi illegal, perusahaan tersebut
mengumumkan pendapatan sebelum pajak mengalami penurunan sebesar 224,8 miliar
yen untuk periode April 2008 sampai dengan Desember 2014. Kejadian ini
menimbulkan pertanyaan dibenak kita, “ Bagaimana skandal semacam ini dapat
terjadi disalah satu perusahaan terkemuka di Jepang?” mengingat bahwa Toshiba
selama ini dipadang sebagai salah satu pelopor tata perusahaan formal.
Untuk menyelidiki skandal akuntansi ini, Toshiba
membentuk komite pengacara pihak ketiga dan akuntan publik dipimpin oleh Ueda Koichi, mantan kepala Kantor
Kejaksaan Tinggi Tokyo. Laporan penyelidikan pada tanggal 20 Juli memverifikasi
bahwa skandal akuntansi ini dilakukan diberbagai unit bisnis secara
institusional dengan keterlibatan manajemen tingkat korporat. Namun, laporan
tersebut hanya mengatakan bahwa manajemen puncak terlibat dan tidak menyatakan
bahwa apakah pimpinan eksekutif perusahaan tersebut melakukan skandal akuntansi
atau tidak.
Pada konferensi pers tanggal 21 Juli, Presiden Toshiba
Tanaka Hisao mengumumkan pengunduran
dirinya, ia menolak bahwa ia telah memerintahkan para karyawannya untuk
menggelembungkan laba perusahaan, menekan kerugian, dan memalsukan akun.
Disini, ia juga mengaku bahwa Toshiba telah menderita, “ Apa yang dapat menjadi
dampak terbesar terhadap citra brand kami selama sejarah 140 tahun.” Faktor
ketidaklayakan dan rantai komando yang terlibat dalam pelaksanaannya tetap
tidak jelas, namun faktor utama yang disebutkan dalam laporan panitia
investigasi adalah “ budaya perusahaan dimana karyawan tidak dapat menentang
perintah atasan.” Di Toshiba, para eksekutif berorientasi terhadap hasil
laporan keuangan pada periode fiskal saat ini, maka dari itu mereka memberikan
tekanan berat kepada bawahan untuk mencapai target hasil unit bisnis mereka. Para
karyawan tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah dari atasannya.
Laporan panitia investigasi memberikan gambaran
tentang bagaimana skandal akuntansi ini
dilakukan. Yang paling jelas adalah adanya seperangkat peraturan de facto yang menempatkan kehendak manajemen perusahaan
menjelang standar akuntansi regular. Misalnya, jika proyek tenaga listrik
jangka panjang mengalami defisit karena kenaikan biaya dan faktor lainnya,
berdasarkan standar normal, praktik ini ditetapkan dengan metode akuntansi
basis akrual untuk mencatat biaya atas perkiraan defisit dalam pendapatan
selama periode fiskal saat ini. Unit bisnis yang terkena dampak defisit akan
mencatat sebagai perkiraan cadangan kerugian dimasa yang akan datang. Tapi
salah satu peraturan de facto di Toshiba memerlukan persetujuan terlebih
dahulu dari manajemen perusahaan dan juga dari kepala unit bisnis untuk
penghapusan semacam itu. Karena perusahaan mengalami kerugian berarti laba
bersih perusahaan juga mengalami penurunan untuk periode fiskal saat ini.
Inilah tantangan bagi para ekskutif terhadap unit bisnis. Untuk menutupi jumlah
kerugian yang dihapuskan, para ekskutif akan memberikan tekanan berat terhadap karyawan
untuk menghasilkan keuntungan tambahan. Karyawanpun dengan terpaksa menuruti
perintah dari para eksekutif untuk menunda kerugian periode akuntansi
selanjutnya.
Dalam bisnis pribadinya, Toshiba meningkatkan
pendapatan melalui transaksi dengan produsen yang memproduksi komputer merk
Toshiba dibawah kontrak. Toshiba menjual
komponen utama komputer dan kemudian
membeli kembali produk jadi mereka. Agar tidak ketahuan harga sebenarnya kepada
para pesaing, Toshiba menggunakan teknik “ masking
price” atau disebut dengan pemalsuan harga ke produsen, dan membeli
komputer jadi mereka dengan menambah biaya produksi dan biaya lainnya untuk
meningkatkan jumlah produksi. Karena masking
price terlalu tinggi untuk komponen
utama dibanding dengan harga untuk produk jadi, maka keuntungan penjualan untuk
komponen utama ini tidak dapat dicatat sebagai laba perusahaan. Tapi, itulah
yang dilakukan oleh Toshiba. Selama bertahun-tahun, perusahaan melakukan masking price sampai harganya 5 kali lipat
dari biaya sebenarnya. Toshiba juga memaksa produsen untuk membeli lebih banyak
lagi komponen utama dari yang mereka butuhkan. Tak heran apabila keuntungan
Toshiba terlihat lebih besar untuk periode akuntansi saat ini.
Dalam sebuah wawancara yang muncul diharian bisnis
Nikkie pada 6 April 2013, Presiden Toshiba Okamura
Tadashi menyatakan tidak penting sistem apa yang mungkin akan diciptakan
oleh perusahaan, itu tidak akan berhasil apabila perusahaan tidak menerapkan
kode etik. Okamura juga mengamati bahwa
wewenang pada perusahaan Jepang terlalu berpusat, dengan mengatakan otoritas
yang berlebihan yang dimiliki oleh presiden perusahaan telah menghasilkan
transparasi yang buruk dan penerapan struktural
yang meluas diantara perusahaan-perusahaan besar.
Toshiba merupakan
salah satu pengadopsi sistem baru tata kelola perusahaan di Jepang. Struktur
tata kelola perusahaan memenuhi standar tata kelola perusahaan. Berkali-kali
kasus kegagalan tata kelola perusahaan telah memberikan bukti bahwa struktur
tata kelola perusahaan yang baik tidak serta merta mengarah pada tata kelola
perusahaan yang baik. Budaya organisasi merupakan penentu penting kualitas tata
kelola perusahaan. Beberapa pengamatan dari komite investigasi independen
perusahaan mengenai audit internal menuai perbincangan dan perdebatan.
Komite investigasi
mengamati bahwa peraturan pembagian tugas diToshiba, divisi audit perusahaan
bertanggung jawab untuk mengaudit divisi perusahaan, perusahaan, perusahaan
cabang dan perusahaan afiliasi. Tapi, kenyataannya, divisi audit hanya
memberikan layanan konsultasi untuk ‘manajemen’ yang dilakukan dimasing-masing
perusahan dan jarang melakukan layanan dari sudut pandang audit akuntansi (apakah
perlakuan akuntansi tepat atau tidak.).
Audit Internal
dapat berjalan independen apabila komite auditnya kapabel, independen dan
efektif, dan auditor internal melapor kepada komite audit.
DiToshiba, komite
audit tidak kapabel dan tidak independen. Ada 3 anggota eksternal komite audit yang
tidak memiliki pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Mantan Chief Financial Officer (CFO) merupakan CFO
yang satu-satunya anggota komite audit
selama penyimpangan akuntansi terjadi. Oleh sebab itu, audit internal tidak independen
dari manajemen. Manajemen laba mendapat persetujuan diam-diam dari manajemen
puncak. Karenanya, ,tidak mengherankan bahwa akuntansi audit tidak
diikutsertakan dalam ruang lingkup audit internal.
Literatur kontemprorer mendefinisikan audit internal
sebagai ‘assurance and consulting service’. Problemanya adalah
menyeimbangkan antara layanan konsultasi dengan layanan penjamin. Persoalan muncul
ketika auditor internal lupa bahwa fungsi utama audit internal ialah sebagai
penjamin dimana layanan konsultasi mengalir dari layanan penjaminan. Walaupun ,
tujuan utama audit operasi adalah untuk mendapatkan jaminan bahwa pengendalian
internal yang diterapkan untuk mencapai tujuan operasi cukup memadai dan
beroperasi secara efektif, auditee meninjau internal auditor untuk saran dan konsultasi. Layanan
konsultasi semacam itu merupakan layanan sampingan dari layanan penjaminan. Auditee
tidak seharusnya menolak manfaat dari
auditor internal yang memiliki pemahaman terhadap industri dan bisnis, dan
teguran sebelum auditee mencapai tujuan operasinya. Pengecualian layanan
konsultasi dari ruang lingkup audit internal akan menghasilkan penggunaan
sumber audit internal yang optimal.
Budaya organisasi juga menentukan efektivitas audit
internal. Seperti laporan panitia investigasi yang telah disebutkan sebelumnya
tentang adanya budaya di Toshiba dimana karyawan tidak dapat menentang perintah
atasan. Apabila budaya perusahaan seperti ini, audit internal yang jujur tidak
akan dapat bertahan, terutama jika terlepas dari manajemen. Mungkin ini adalah
alasan mengapa audit internal di Toshiba memilih jalan yang mudah untuk
berfokus hanya pada ‘layanan konsultasi’tanpa melaporkan kelemahan pengendalian
internal.
Audit internal
adalah “ mata dan telinga” dan “ go to
man” dari komite audit. Oleh karena itu, kegagalan audit internal,
menyebabkan kegagalan tata kelola perusahaan.
Analisis :
Dalam
kasus ini terdapat permasalahan yang dilanggar oleh para eksekutif Toshiba
diantaranya :
1. Kepentingan
Publik
Atas kepercayaan yang diberikan
publik kepadanya, seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan
dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Dalam hal ini,
akuntan dalam Toshiba telah mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan
mereka semata. Dengan kesalahan penyajian pada laporan keuangan Toshiba,
menyebabkan pengambilan keputusan yang salah bagi investor.
2. Integritas
Integritas mengharuskan seorang
anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan
rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan
oleh keuntungan pribadi. Namun, Toshiba terbukti tidak jujur dalam menyusun
laporan keuangan mereka. Sehingga telah melanggar prinsip kode etik akuntansi.
Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat
yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
3. Obyektivitas
Obyektivitas mengharuskan anggota
bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau
bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak
lain. Dalam hal ini, akuntan Toshiba tidak menunjukkan prinsip obyektivitasnya.
Hal ini dibuktikan oleh dalam penyusunan laporan keuangan, akuntan masih
didalam pengaruh para eksekutifnya untuk meninggikan laba didalam laporan
keuangannya.
Solusi
Dalam
kasus skandal akuntansi yang dilakukan
oleh Toshiba menunjukkan perilaku bisnis yang kurang baik. Dilihat dari etika
pada kasus ini adanya tindakan kecurangan dalam pembuatan laporan keuangan
dengan menaikan laba operasional perusahaan. Dalam menciptakan etika bisnis
yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1) Menyusun
strategi untuk mencapai target penjualan
Pencapaian target dalam perusahaan
memanglah sangat penting untuk meningkatkan laba bagi perusahaan. Apabila
perusahaan belum mencapai target yang diinginkan , perusahaan dapat menyusun
strategi untuk mencapai target penjualannya seperti mengutamakan kualitas dan
inovasi produk, melakukan promosi secara efektif, dan memberikan pelayanan lebih
baik lagi kepada pelanggan.
2) Memperbaiki
budaya perusahaan
Budaya diperusahaan Toshiba dimana
karyawan tidak dapat menentang perintah atasan sangatlah tidak baik. Sebagai
atasan, mereka harus mengembangkan budaya continuous
improvement seperti mengkomunikasikan ekspetasi mereka, beri informasi dan
pelatihan kepada karyawan, menilai pengetahuan dan keterampilan
karyawan-karyawannya, memberikan dorongan kepada karyawannya, menunjukkan
konsistensi, berikan kesempatan untuk eksperimen dan kesalahan kepada karyawan.
Tidak hanya itu, mereka juga harus memiliki pengontrolan yang baik terhadap
sejauh mana perkembangan target pencapaian mereka. Bentuk pengontrolan ini bisa
seperti rapat mingguan, rapat dua mingguan, atau rapat bulanan.
3) Membangun
independensi auditor internal
Independensi internal audit Toshiba
sangat buruk. Bahkan 3 komite audit tidak memiliki pengetahuan tentang keuangan
dan akuntansi. Dalam hal ini, audit internal pada perusahaan Toshiba harus
membangun independensinya. Sesuai dengan interprestasi standar internal audit,
untuk mencerminkan independensi, kedudukan Internal audit dalam organisasi
harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapkan pandangan dan
pemikirannya tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ataupun pihak lain
yang terkait dengan organisasi. Pemimpin internal audit memiliki akses langsung
dan tidak terbatasi dengan manajemen senior dan komisaris untuk melaporkan
hasil auditnya.
Sumber
:
terimakasihhhhhh
ReplyDelete